Konsep
diri yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia :
Berdasarkan
pada materi yang dibahas yaitu :
·
Kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain
·
Kita
membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita
·
Kita
merasa tersakiti atau banga berdasarkan perasaan pribadi ini
Maka
menurut saya konsep diri adalah cara pandang orang lain mengenai bangsa
Indonesia ataupun bisa saja bagaimana bangsa Indonesia sendiri dimata kita
sebagai warga Negara Indonesia ataupun menurut bangsa lain dan juga memiliki
beberapa factor seperti dalam bahasan materi sebelumnya. Konsep diri juga bisa
berdasarkan pandangan orang terhadap suatu bangsa atau budaya, bisa secara umum
namun bisa juga berdasarkan suatu suku bangsa. Berikut adalah contoh konsep
diri Suku Tengger Desa Ngadas.
KONSEP
DIRI DAN PERSEPSI : DI ATAS PILAR BUDAYA MASYARAKAT SUKU TENGGER
DESA NGADAS
Oleh:
Muhamad Erza Wansyah
“Saya
sih bebas mas, yang penting tetap rukun,” ujar Turaji (26). Hal yang serupa
juga seringkali terucap dari mulut masyarakat di Desa Ngadas. Rukun seolah-olah
telah menjadi nyawa bagi orang-orang di desa ini. Di atas tuntutan pluralitas
akan keberagaman agama, penyatuan pikiran lewat paguyuban menjadi cara yang mereka anggap ampuh
dalam mengaktualisasikan konsep rukun dalam desanya.
Ngadas
merupakan desa yang dihuni oleh masyarakat Suku Tengger. Pada dasarnya Suku
Tengger sendiri adalah Wong
Jowo. ”like other Javanese, they call themselves “Javanese people” (wong
Jawa). Only on certain occasions do they qualify that identification by also
referring to themselves as “Tengger people” (wong Tengger)….” Menurut pendapat Robert W. Hefner[i].
Namun, meski secara regional masyarakat suku ini berdomisili di Jawa, namun
secara kultural suku ini tidak sepenuhnya sama dengan masyarakat Jawa pada
umumnya.
Suku
Tengger merupakan suku peninggalan Kerajaan Majapahit. Dengan serentetan
sejarahnya, menempatkan masyarakat suku ini bertempat di sekitar Gunung Bromo
dan Semeru. Tersebar di belasan desa di empat kabupaten (Malang, Lumajang,
Probolinggo dan Pasuruan), Joko Seger merupakan founding father suku ini. Didampingi Roro Anteng,
Joko Seger membangun konstelasi budaya dalam tekanan kontroversi Kerajaan
Majapahit saat itu.
Budaya
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar[ii]. Dalam dinamikanya, tiap
budaya melalui proses-proses tindakan manusia yang dieksternalisasikan menjadi
budaya itu sendiri. Hal yang diyakini orang-orang Suku Tengger, budaya yang
mengikatnya saat ini merupakan hasil dari pola perilaku dalam budaya yang
dibentuk oleh nenek moyangnya, Roro Anteng dan Joko Seger. Budaya tersebut
hingga saat ini tetap lestari dengan pewarisannya secara turun temurun.
Kelestarian
budaya Tengger dibuktikan dengan masih berlangsungnya upacara-upacara
tradisional yang diamini masyarakat di sana sebagai syarat identitas orang
Tengger. Meskipun di setiap desanya memiliki keberagaman agama, masyarakat
disana tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya dengan melakukan ritual
adat sukunya[iii].
Sekilas
Ngadas
Desa
Ngadas berlokasi di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Desa ini merupakan
desa yang tertinggi di Malang Raya. Keberadaan desa ini dilatarbelakangi dengan babat alas yang dilakukan oleh Mbah Sedek pada
tahun 1700-an. Terdapat dua dusun pada Desa Ngadas, yaitu dusun Ngadas dan
dusun Jarak Ijo. Desa ini juga merupakan salah satu dari puluhan desa tempat
tinggal masyarakat tengger. Bahkan hingga hari ini, Desa Ngadas merupakan
satu-satunya Desa Tengger di kawasan Malang. Layaknya masyarakat Tengger lain,
di desa ini ritual-ritual adat Tengger tetap terlaksana secara rutin[iv]. Bagi masyarakat Tengger,
terlaksananya ritual-ritual adat di tiap desa sudah cukup untuk mengatakan desa
tersebut sebagai Desa Tengger.
Terdapat
dua dusun di desa ini, Dusun Ngadas dan Dusun Jarak Ijo. Tiap dusun memiliki
perwakilan yang menjabat sebagai perangkat desa. Berkantor di Dusun Ngadas,
pemerintahan desa selama ini berjalan dengan lancar[v].
Kebijakan-kebijakan Desa Ngadas diambil melalui proses musyawarah tokoh-tokoh
berpengaruh di sana. Kemudian, hasil musyawarah ini disosialisasikan kepada
masyarakat setempat untuk selanjutnya diaplikasikan ke dalam peraturan desa[vi]. Proses pembentukan
kebijakan ini, mereka sebut sebagai paguyuban.
Dinamika
pada Desa Ngadas tidak terlepas pula pada kenyataan bahwa desa ini merupakan
desa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerukunan masyarakat Tengger. Sebagai
desa yang memiliki sistem sendiri dalam menjalankannya, Desa Ngadas tidak
melupakan nilai-nilai yang diyakini bersama oleh Suku Tengger. Paguyuban adalah
bentuk kehidupan bersama dimana anggotanya diikat oleh hubungan batin yang
murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut ialah
cinta dan rasa kesatuan[vii]. Paguyuban inilah yang
menjadi keyakinan bersama masyarakat di Desa Ngadas. Bentuk konkrit dari
paguyuban ini dapat terlihat juga dari proses musyawarah sebagai jalan
pembentuk kebijakan desa.
Desa
Ngadas telah melalui perkembangan sosio-kultural yang pesat searah dengan
pesatnya modernisasi di Indonesia. Dengan kekayaan dan keindahan alamnya, saat
ini Desa Ngadas telah menjadi desa pariwisata bagi orang di luar daerahnya.
Bahkan, belakangan ini, banyak pula kalangan akademisi, khususnya mahasiswa,
yang berkunjung ke desa ini dengan maksud penelitian. Meski begitu,
kondisi ini tidak menjadikan nilai-nilai yang dianut masyarakat di sana luntur.
Keberadaan
orang luar bagi masyarakat desa sebagai kesempatan untuk menambah teman.
Menurut data yang penulis dapatkan saat wawancara dengan salah satu warga, dia
mengatakan:
“Saya
malah bersyukur kalau ada mahasiswa yang penelitian disini. Berarti kita kan
jadi tambah teman. Kita tuh butuh teman. Masalah uang mah gampang. Misalnya
saja kalau saya ke malang, kalau gak ada uang tetap bisa makan. Soalnya ada
teman.” [viii]
Teman
bagi masyarakat Tengger-Ngadas merupakan investasi yang besar di dunia. Hal ini
tidak terlepas dari nilai-nilai yang diamini masyarakatnya. Sugih dunyo, nek sugih dolor, anguk
sugih dolor. “Lebih baik
banyak saudara atau sahabat daripada banyak uang atau harta”[ix].
Tidak
hanya sebuah desa, Ngadas hari ini seharusnya dapat menjadi contoh bagi setiap
insan. Tidak terikat zaman, namun Ngadas bisa mengikuti perkembangan zaman.
Bukan desa budi daya, tapi Ngadas bisa membudidayakan kearifan lokalnya.
Ngadas, meski nama bunga, alam budayanya seindah nirwana.
Konsep
Diri dan Persepsi dalam Kajian Psikologi Lintas Budaya
Konsep
diri dan persepsi merupakan kajian yang umum bagi disiplin ilmu psikologi. Namun,
selama ini kajian konsep diri dan persepsi hanya terikat oleh teori-teori yang
dikeluarkan oleh orang-orang barat. Sedangkan berbicara teori, tidak dapat
dipisahkan dari konteks budaya yang dianut oleh para pencetus teori tersebut.
Sehingga, perlu kajian lebih lanjut mengenai konsep diri dan budaya dengan
melihat konteks budayanya pula.
Bidang
ilmu psikologi saat ini mulai meraba objek-objek psikologis manusia melalui
sudut pandang budayanya. Ini juga yang dilakukan oleh para peneliti dalam
mengaji konsep diri dan persepsi. Beberapa cabang ilmu psikologi, seperti
psikologi lintas budaya dan psikologiindigenous, mulai memainkan peran
budaya dalam kajian konsep diri dan persepsi.
Konsep
Diri
Pembahasan
umum tentang konsep diri selalu menyatakan diri (ego) secara independen
mendeskripsikan dirinya. Akan tetapi, dalam kajian psikologi dan budaya,
kenyataan ini dianggap kurang lengkap untuk mendefinisikan konsep diri itu
sendiri. Karena, menurut Matsumoto, berbicara konsep diri juga membicarakan
budaya yang dianut olehnya[x].
Pernyataan “saya pintar” tidak semata-mata menggambarkan bahwa seseorang memandang
dirinya sebagai orang yang pintar, namun perlu kajian lebih lanjut mengenai
“saya pintar” dari berbagai sudut pandang.
Kajian
konsep diri beranjak dari pertanyaan-pertanyaan sederhana “mengapa dia
mengatakan bahwa dirinya pintar?” “Apa maksud dari pernyataannya tersebut?”
atau “adakah gagasan masyarakat yang memengaruhi orang tersebut mengatakan
dirinya pintar?”. Pertanyaan-pertanyaan ini akan mengantarkan kajian konsep
diri dengan memainkan konteks sosial yang selama ini tidak dijadikan penekanan
utama, termasuk juga budayanya.
Konsep
diri dalam kajian budaya membaginya ke dalam dua bentuk, yaitu konsep diri
independen dan interdependen[xi]. Konsep diri independen
mengartikan konsep diri sebagai konsep yang bebas dari atribut-atribut
eksternalnya. Konsep diri jenis ini menyatakan bahwa konsep diri individu hanya
berasal dari atribut-atribut subjektif dalam dirinya. Sebaliknya, konsep diri
interdependen justru menyatakan bahwa tidak hanya atribut-atribut subjektif
yang mengkonstrak konsep diri individu. Terdapat pula atribut-atribut eksternal
yang membangun pondasi konsep diri individu. Pada jenis ini, sangat mungkin
individu untuk menggambarkan dirinya sebagai produk dari hasil interaksi dengan
masyarakat dan budayanya.
Perbedaan
dari kedua konsep diri ini dapat terlihat dari bagaimana seorang calon pemimpin
mengampanyekan dirinya. Bangsa Amerika akan melaluinya dengan menggambarkan
ketegasannya, usaha-usaha dan tujuannya untuk menjadi pemimpin. Sedangkan untuk
orang Jepang, calon menawarkan hal-hal yang sifatnya relasional. Ini
mengartikan bahwa ada keterkaitan pemimpin dan masyarakatnya.[xii]
Lain
pula kajian psikologi dan budaya dalam pendekatan indigenous. Yang Chung-Fang misalnya,
yang mengambil nilai-niali Yin-Yang dan historical Cina menjadi dasar konsep diri
orang Cina, atau Rolando Diaz Loving yang mengisi konsep diri orang meksiko
dengan memasukan budaya meksiko yang berlaku pada saat itu[xiii].
Bahasan
konsep diri dan budaya sudah tidak lagi menjadi bahasan baru. Terlebih peran
konsep diri pada proses mental individu cukup besar. Sehingga, konsep diri ini
sudah sepantasnya dapat diperdalam melalui kacamata budaya.
Persepsi
Konsep
diri dan Persepsi pada dasarnya saling berkaitan. Namun kali ini alangkah lebih
baik ketika pembahasan dimulai dengan pemisahan antara keduanya. Secara
sederhana, persepsi merupakan kelanjutan rangsangan dan sensasi melalui
serangkaian proses kognisi yang digunakan untuk memahami sensasi yang kita
terima. Cantik, tampan, enak, buruk, baik, dll adalah bentuk konkrit persepsi.
Contoh
saja, kita kaji persepsi dari sudut pandang psikologi sosial. Psikologi sosial
mengenal sebuah konsep yang dikenal dengan istilah persepsi sosial. Persepsi
sosial adalah suatu proses yang kita gunakan untuk mencoba memahami orang lain[xiv]. Persepsi ini yang
nantinya individu jadikan dasar dalam bertindak. Apa yang terjadi jika ada
seseorang yang mengedipkan mata kepada seseorang? Dari sinilah muncul persepsi
sosial. Kedipan tersebut merupakan rangsangan yang diterima sehingga
menimbulkan sensasi dan dilanjutkan ke dalam persepsi terhadap rangsangan
tersebut.
Matsumoto
dalam buku Pengantar Psikologi
Lintas Budaya mengkaji
persepsi visual pada beberapa budaya yang berbeda. Beranjak dari dasar bahwa
persepsi dan realitas yang tidak sama, matsumoto mendefinisikan peran realitas
budaya pada persepsi. Sehingga menemukan, ada perbedaan persepsi visual antara
beberapa budaya yang berbeda.
Pengaruh
budaya terhadap persepsi relative besar. Karena kebudayaan adalah sesuatu yang
telah ada sejak manusia dilahirkan. Manusia merupakan actor dari scenario
budaya itu sendiri. Sehingga, secara tidak langsung, kognisi manusia juga akan
dipengaruhinya. Misalnya saja, kepercayaan. Apa yang dianggap benar oleh
seseorang akan membentuk pola untuk mempersepsikan rangsangan yang diterimanya
dengan dasar kepercayaan yang orang itu anggap benar.[xv]
Kemudian
hubungannya dengan konsep diri, adalah saat dimana individu itu melakukan
penilaiannya. Konsep diri pada dasarnya juga merupakan persepsi, namun
ditujukan kepada diri sendiri. Dalam proses pembentukannya, akan ada
proses-proses kognisi yang sama-sama memiliki faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Orang Jawa, akan mempersepsikan kota Jakarta sebagai kota yang
eksklusif. Persepsi ini akan berbeda dengan persepsi orang bogor yang secara
regional dekat dengan Jakarta. Orang bogor akan mempersepsikan orang Jakarta
biasa saja karena pengalamannya dengan Jakarta lebih banyak daripada orang
Jawa.
Dalam
tulisan ini, penulis akan menghubungkan kedua aspek psikologi ini dengan budaya
masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas melalui pendekatan psikologi lintas
budaya.
Konsep
Diri dan Persepsi: Kaca Mata Masyarakat Tengger-Ngadas
“Saya
sih bebas mas, yang penting tetap rukun,” ujar Turaji (26). Kembali penulis
cantumkan, pernyataan yang telah membuka tulisan ini. Bukan untuk menghabiskan
halaman, hanya untuk mengaji ulang melalui sudut pandang yang lain. Di atas
telah diulas mengenai kerukunan sebagai pengantar latar belakang Suku Tengger
dan Desa Ngadas. Kali ini, penulis akan menjadikanstatement berikut sebagai pengantar ke
kajian konsep diri dan persepsi pada masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas.
Penulis
mulai dari kajian tentang nilai-nilai kerukunan pada desa ini. “Desa ini desa yang rukun mas,” “Orang
disini rukun-rukun mas,” ada
pula yang bilang “Tiap desa
rukun mas,” “jarang ada yang nakal, karena disini rukun mas” atau lagi “saya
sih bebas mas,yang penting tetap rukun”.Hampir semua orang yang penulis
jumpai mengatakan tentang kerukunan desanya. Seolah-olah rukun adalah darah
daging masyarakat di desa ini.
Di desa
ini terdapat tiga agama yang dianut tiap-tiap individu pada masyarakat Ngadas.
Yaitu, Budha, islam dan hindu. Namun, di atas keberagaman tersebut, desa ini
masih tetap berjalan dengan aman dan tentram. Sangat kontras jika dibandingkan
dengan perselisihan yang terjadi antar agama, misal di Poso, atau lebih luas
lagi saat perang salib yang melibatkan banyak orang. Dalam perselisihan
tersebut, unsur agama adalah pemeran utama pemantik peperangan.
Kerukunan
pada Desa Ngadas cukup erat untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan
perselisihan dalam desa. Bahkan antar individu dalam desa saja jarang dan
bahkan tidak sama sekali terlihat ada pertentangan. Keberlangsungan nilai-nilai
kerukunan ini juga tidak dapat dipungkiri merupakan hasil serangkaian budaya
yang terdapat pada daerah tersebut. Sehingga, sadar maupun tidak masyarakat
sana sendirilah yang berperan sebagai pelestari budaya mereka.
Sugih
dunyo, nek sugih dolor, anguk sugih dolor. Seolah
menjadi prinsip bagi masyarakat Tenger di desa ini. Ajaran-ajaran nenek moyang
ini dapat dikatakan sebagai asal-muasal dari nilai-nilai kerukunan yang berlaku
di desa ini. Berangkat dari sebuah petuah, tindakan-tindakan yang ditunjukkan
oleh masyarakat di desa ini membuktikan warisan leluhurnya masih berlaku hingga
sekarang.
Melalui
kacamata budaya, petuah leluhur inilah yang menjadi alasan nilai-nilai
kerukunan masih terlaksana hingga saat ini. Namun, ada sebuah ikatan lain yang
seharusnya juga dapat menjadi landasan nilai-nilai kerukunan tetap terjaga
keagungannya. Hanya dengan menambah satu lagi kaca mata pengetahuan, dapat
terlihat simpul lain yang mengikat masyarakat di Desa Ngadas ini, yaitu
psikologi dan budaya.
Konsep
diri, ulasan yang telah di bahas di bagian-bagian sebelumnya. Merupakan simpul
lain yang mengikat masyarakat menjadi sebuah kesatuan individu dengan keyakinan
dan tindakan kerukunan. Akibat nilai-nilai kerukunan yang telah menjamur di
jiwa tiap warga masyarakat, pemahaman tentang dirinya sendiri yang merupakan
“manusia rukun” adalah output psikologis yang sifatnya kolektif pada
masyarakat di desa ini.
Seringkali
terdengar ungkapan yang intinya menyatakan “saya adalah orang yang rukun” pada
warga masyarakat. Kata “saya” pada setiap ungkapannya telah dapat
merepresentasikan pemahaman yang dia miliki terhadap dirinya sendiri. Bagaimana
dia menggambarkan dirinya sendiri dalam bentuk bahasa.
Nilai-nilai
kerukunan pada masyarakat Ngadas juga tidak hanya dirasakan belakangan ini
saja. Karena menurut sejarahnya[xvi], pernah terjadi
perselisihan antar agama Non-Islam dengan Islam, terutama saat pertama kali
Islam masuk ke dalam desa ini. Saat itu, Intimidasi yang dilakukan warga
Non-Islam terhadap warga Islam cukup kuat. Sehingga sempat membuat warga
beragama Islam. Namun, hal ini tidak mengakar dalam desa, karena kemudian
potensi konflik ini langsung diredam melalui musyawarah paguyuban sebagai alat
penyatuan pemikiran tiap masyarakat. Lagi-lagi, guyub ini dilakukan berdasarkan landasan
“biar tidak ada perselisihan antar warga, biar bisa tetap rukun”.
Konsep
diri masyarakat Ngadas mengenai kerukunan ini juga merupakan pengaruh dari
mitos-mitos yang diyakini masyarakat di desa tersebut. Keyakinan bahwa ada
kekuatan lain yang mengatur perilaku masyarakat yang melenceng dari adat,
menuntut mereka untuk bertindak sesuai dengan adat Tengger ini. Dalam beberapa
wawancara, narasumber mengungkapkan kekuatan lain yang mengatur setiap tindakan
dari warga masyarakat:
“Disini
orangnya rukun-rukun mas. Lihat saja, banyak yang menaruh sepeda motor di luar,
tapi gak ada yang kehilangan. Pintu-pintu gak di kunci, tapi tetap aman. Tidak
kayak di Malang, motor ditinggal sebentar saja sudah bisa hilang entah kemana”[xvii]
“Jarang
sekali ada masalah disini. Pernah beberapa kali ada orang luar yang mau mencuri
di desa ini. Yang satu itu gak bisa selamat, dihakimi sama orang-orang sini.
Yang satu lagi ketawan, terus dia lari, tapi dia hilang. Kurang tau saya
kenapa. Pokoknya kalau ada yang buat salah, nanti akan ada aja yang terjadi ke
orang itu”[xviii]
Keyakinan
akan adanya kekuatan lain yang berpengaruh terhadap warganya, memaksa
masyarakat Ngadas untuk berperilaku dan berpikir demi kerukunan. Seoalh-olah,
kekuatan lain itu memaksa kita untuk berkata “Saya harus rukun, kalau tidak
nanti terjadi apa-apa kepada saya”.
Saya
rukun, adalah konsep yang secara tidak sadar merupakan representasi
pengalamannya, yang juga merupakan penggambarannya hari ini serta regulasi
perilakunya di masa depan. Dalam konsep diri masyarakat Ngadas ini, terdapat
atribut-atribut kebudayaan yang membangun konsep dirinya. Ini berarti, bisa
dikatakan, konsep diri masyarakat Ngadas merupakan jeni konsep diri
interdependen, karena tidak hanya atribut-atribut subjektif saja yang membentuknya,
namun juga atribut-atribut kebudayaan seperti, norma, sanksi sosial, petuah
leluhur dan kekuatan lain yang akhirnya membentuk konsep “saya rukun”.
Kemudian
apa makna “saya bebas”? Konsep diri saya bebas juga tidak terlepas dari
kontekstual budayanya. Ini juga sangat berkaitan dengan konsep kerukunan yang
diaminini secara umum. Ketika kebebasan terganggu, justru akan mengganggu
stabilitas kerukunan masyarakat.[xix] Oleh karena itu, konsep “saya bebas” selalu
dibarengi dengan konsep “saya rukun”. Dalam artian, bahwa pembatasan kebebasan
masyarakat adalah kerukunan antar anggota masyarakat. Hal ini juga masih belum
bisa menegasikan pernyataan bahwa konsep diri masyarakat Ngadas bertipe
interdependen.
Persepsi,
yang menjadi bahasan selanjutnya dalam tulisan ini. Penulis membagi persepsi
kedalam dua kategori. Pertama, persepsi masyarakat terhadap desanya sendiri.
Kedua, persepsi masyarakat terhadap dunia luarnya.
Pertama, persepsi terhadap
desanya. Keyakinan bahwa setiap suku tengger adalah bersaudara, karena
merupakan keturunan Roro Anteng dan Joko Seger, adalah kenyataan yang membentuk
ikatan batin di tiap individu dalam masyarakat. Sehingga persepsi yang
terbentuk tidak akan terlepas dari sejarah yang mengikatnya.
Kebersamaan
dan kerukunan yang selama ini menjadi nilai-nilai tertinggi pada desa ini juga
membentuk persepsi. Persepsi terbentuk dari pengalaman-pengalaman masa lalu
seseorang, sehingga demi kebersamaan dan kerukunan, masyarakat harus
mempersepsikan masyarakat Ngadas secara baik. Peneliti pernah bertemu dengan
warga yang merupakan warga dari luar, namun karena pernikahan, sekarang dia
mengidentitaskan dirinya sebagai orang Tengger. Dia mengatakan “Masyarakat
disini rukun-rukun mas”[xx].
Kedua,
adalah persepsi tentang dunia luar. Terikat dengan budayanya yang mengatakan
teman adalah investasi yang besar untuk di dunia, membuat persepsi masyarakat
terhadap orang luar terutama, menjadi positif. Bahkan, bagi mereka, orang-orang
luar (seperti mahasiswa yang sedang melakukan KKN), telah dianggap sebagai
warga Tengger itu sendiri[xxi].
Persepsi
positif terhadap orang luar yang datang ke desa ini dibuktikan dengan
penerimaan yang baik pula oleh masyarakat sekitar. Akan tetapi, karena telah
menjadi orang Tengger, orang dari luar Ngadas harus memahami konsekuensinya,
yaitu mengikuti peraturan yang telah ada di Tengger itu sendiri. Khususnya
untuk mentaati nilai-nilai kerukunan.
Pola
yang dimiliki oleh masyarakat Ngadas dalam mempersepsikan sesuatu selalu
berpacu terhadap budaya yang dimilikinya. Nilai-nilai kerukunan yang tertinggi,
setelah itu nilai-nilai lain yang menjadi prioritas kedua dikembalikan kepada
dirinya masing-masing. Pola ini hingga sekarang akhirnya dapat membuktikan
kesejahteraan, ketentraman dan keamanan desa Ngadas.
Dwi Tunggal
Masyarakat Ngadas: Identitas Sosial dan Konsep Diri
Dua dan
merupakan sebuah kesatuan. Konsep diri dan identitas sosial. Identitas sosial
pada masyarakat Ngadas (sebagai orang Tengger) cukup kuat. Terlebih dalam
pengaruhnya menjadikan identitas sosial sebagai atribut pembentuk konsep diri
yang sangat berperan. Ini dikarenakan, identitas orang Tengger syarat akan
makna dan nilai-nilai yang telah menjadi regulasi budayanya. Sehingga, peran
identitas sosial cenderung besar.
Besarnya
peran identitas sosial dalam desa Ngadas bahkan membuatnya sulit untuk
dibedakan. Masyarakat Ngadas selalu mengkonsepsikan dirinya sebagai orang
Tengger yang memiliki nilai-nilai ke-Tengger-an. Hal ini sangat terlihat dari
pola aktivitas sehari-harinya yang cenderung homogen. Kenyataan ini merupakan
bukti yang memperkuat tingginya toleransi di setiap masyarakat Ngadas.
Catatan Kaki
[I] ARIF BUDI WURIANTO
DALAM MAKALAHNYA BERJUDUL “SENI
RITUAL SEBAGAI KONTEMPLASI AESTHETIC VISION (RITUAL ARTS DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
TENGGER DI JAWA TIMUR)” DIUNDUH DARI
LK.UMM.AC.ID PADA 10 MEI 2013 PUKUL 22.00 WIB.
[iv] Kepala Dusun Ngadas. Hasil Wawancara pada
tanggal 10 Mei 2013. Kepala Dusun Ngadas juga berperan sebagai kami tuo di desa ini. Artinya, kepala Dusun
Ngadas adalah orang yang dituakan oleh masyarakat di desa ini.
[ix] Rahmad Bobsaid. 2012. “Kearifan Lokal Masyarakat Tengger
dalam Pengurangan Risiko Bencana Gunung Bromo(Studi Mitigasi Desa Ngadirejo
Kec. Sukapura, Kabuoaten Probolinggo, Jawa Timur. Skripsi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Hal. 122
[xiii] Dalam Indigenous
and Cultural Psychology: Memahami orang dalam konteksnya. Yogyakarta:
Psutaka Pelajar
[xv] Carole Wade dan Carol Travis. 2007. Psikologi
Jilid satu edisi kesembilan. Jakarta: Erlangga. Hal. 228
[XXI] KEPALA DUSUN. HASIL
WAWANCARA TANGGAL 9 MEI 2013
Referensi :
Comments
Post a Comment